Editorial : Perilaku Korupsi Tak Terreformasi

Seperti halnya kehidupan yang terus berubah seiring dengan dinamika dan perkembangan peradaban, manusia dan persepsi serta segala sarana penunjang kehidupannya juga terus mengalami perubahan. Kita masih ingat di era pemerintahan Orde Baru, hal-hal yang berbau pornografi dianggap sangat tabu, karena itu VCD porno merupakan barang terlarang yang tidak dapat ditemukan di sembarang tempat. Demikian pula dengan narkoba yang termasuk dalam kategori mo limo, barang tersebut benar-benar diharamkan, sehingga jarang ditemukan korban penyalahgunaan narkoba khususnya di kalangan generasi muda.

Hal lain yang  juga termasuk langka adalah demokrasi. Meskipun kita mengenal Demokrasi Pancasila, tetapi pada prinsipnya hanyalah modifikasi Demokrasi Terpimpin yang dikembangkan sebagai dasar kehidupan masyarakat dari era Pemerintahan Orde Lama yang tak lebih hanya sebagai selimut otoriterisme untuk melestarikan kekuasaan.

Tetapi seperti kodrat kehidupan, seiring dengan percepatan perkembangan teknologi komunikasi, masyarakat tidak bisa lagi diisolir dari informasi global. Isu-isu  demokrasi, Hak  Azasi Manusia dan kebebasan pun mendorong tumbuhnya sikap kritis masyarakat sehingga seperti kodrat yang digariskan,  perubahan pun harus terjadi melalui reformasi yang ditandai dengan kejatuhan pemerintahan Orde Baru.

Kini masyarakat Indonesia memasuki babak baru yang  sudah jauh lebih demokratis dibandingkan dengan era Orde Baru, unjuk rasa bahkan aktivitas yang dulu nyaris dikategorikan subversi pun kini dengan bebas bisa dilakukan. Pornografi dan narkoba seolah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan semakin cenderung dianggap hal yang biasa tak ada lagi anggapan tabu atau dosa.

Tetapi satu hal yang tetap tidak berubah dan barangkali menjadi semakin parah, yaitu korupsi. Padahal pemicu utama reformasi dulu adalah otokratisme yang melahirkan kolusi dan nepotisme dan berwujud akhir korupsi yang menyebabkan ketidakadilan dalam pendistribusian kesempatan, sehingga akhirnya mengakibatkan kesenjangan sosial.

Nampaknya kalau ada yang salah dalam perkembangan kehidupan masyarakat reformasi, maka boleh ditunjuk kesalahan itu terletak pada euforia demokrasi yang tak terkendali. Akibatnya, tanpa kita sadari ada nilai-nilai budaya yang seharusnya menjadi pedoman kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia pun ikut  terreformasi.

Barangkali kalau hal itu merupakan harga lain dari reformasi yang harus dibayar, masalahnya kini adalah menumbuhkan kembali nilai-nilai yang terlanjur ikut dikorbankan itu melalui upaya-upaya berwawasan kebangsaan. (dt/Progresif77)